Multidisipliner dan Linearitas Ilmu

Kalo kita membaca sejarah tentang tokoh-tokoh ilmuwan besar muslim jaman dahulu seperti Al Farabi, Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Al Biruni, dan Ibnu Rusyd, kita mendapati bahwa mereka mempunyai keahlian keilmuan yang multidispliner. Al Farabi mengarang buku dalam bidang : Logika, Matematika, Ilmu Alam, Teologi, Ilmu Politik dan Kenegaraan  serta bunga rampai. Ibnu Sina banyak menulis tentang filosofi, logika dan ilmu kedokteran. Al Khawarizmi merupakan ahli matematika, astronomi, astrologi, dan geografi. Al Khawarizmi inilah yang merupakan pencipta awal dasar-dasar algoritma yang sekarang banyak digunakan di dunia computing, dimana kata ‘algoritma’ diambil dari namanya ‘al khawarizm’. Sedangkan Al Biruni adalah matematikawan, astronom, fisikawan, sarjana, penulis ensiklopedia, filsuf, pengembara, sejarawan, ahli farmasi dan guru, yang banyak menyumbang kepada bidang matematika, filsafat, obat-obatan. Ibnu Rusyd adalah ahli kedokteran, fikih dan filsafat.

Selanjutnya kalau kita membaca sejarah ilmuwan Yunani kuno seperti Aristoteles dan Plato juga sama, seperti Aristoteles yang menulis karya dalam berbagai subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi. Plato yang merupakan filosof sekaligus matematikawan dan juga menulis tentang politik dengan karyanya yang terkenal berjudul Republik, serta menulis pula tentang Hukum.

Kita pasti mengenal Karl Marx yang karya-karyanya tidak saja merupakan pemikiran politik tetapi juga pemikiran ekonomi karena memang ekonomi dan politik tidak bisa dipisahkan.

Di era kontemporer, kita sekarang mengenal Bruno Latour yang merupakan filosof dan antropolog, tetapi kemudian mengembangkan Actor Network Theory (ANT) yang terkenal menjadi salah satu teori paling berpengaruh dalam sociology science and technology saat ini. Dan Bruno Latour juga menulis tentang sejarah dan antropologi science.

Di bidang yang terkait dengan computng atau informatika, saat ini pun berkembang keilmuan multidisipliner seperti E-Government yang di dalamnya merupakan gabungan dari ilmu politik, public management, informatika, ekonomi, sosial dan budaya. Contoh lain adalah Biomedical Engineering yang merupakan gabungan dari biomedik dan Engineering. DNA Computing yang mengaplikasi teori-teori tentang DNA, biochemisry dan moleculer biology dalam computing. Computer Science sendiri merupakan gabungan dari matematika, computing dan statistika setidaknya. Chemoinformatics yang merupakan aplikasi informatika ke dalam bidang kimia. Nanoinformatics juga mengaplikasikan informatika ke dalam nano manufacturing.

Sehingga Kalau kita mengkaji hal-hal diatas, maka akan sulit sekali mengenali keilmuan yang tidak berinteraksi dengan keilmuan lainnya kalau ingin melakukan penelitian yang komperehensif. Dan sesungguhnya di tataran keilmuan tidak bisa dipisah-pisah atau diberi batasan yang tegas karena akan selalu terjadi dialektika keilmuan yang satu dengan keilmuan yang lain sehingga muncullah keilmuan baru, dan itu terjadi terus menerus yang menjadikan ilmu pengetahuan terus berkembang.

Maka, istilah linearitas menjadi pertanyaan….apakah sebenarnya linearitas keilmuan itu ? karena sepertinya tidak ada keilmuan yang murni linear (dalam arti tidak terkait dengan keilmuan lainnya).  Yang bisa diberi garis batas adalah departemen-nya bukan keilmuannya untuk memudahkan manajemen sumber daya. Departemen sosiologi, departemen politik, departemen informatika dan departement lainnya. Tetapi dalam kajian keilmuannya, departemen sosiologi bisa berinteraksi dengan keilmuan lainnya seperti science, teknologi, pertanian, politik, hukum, ekonomi dll. Departemen Politik pun begitu, dalam praktik penelitiannya tidak terhindarkan pasti berinteraksi dengan keilmuan lain seperti hukum, ekonomi, sosiologi, budaya, teknologi, dll. Termasuk informatika pun begitu, dalam penelitiannya seharusnya berinteraksi dengan keilmuan lain seperti matematika, statistika, politik, ekonomi, pertanian, bahasa, kimia, dll. Tetapi kalau linearitas hanya didasarkan pada kesamaan departemen, maka itu asumsi yang sangat rapuh dan tidak relevan.

Portsmouth, 15/02/2014

Wasiat Sunan Drajat

Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofi ke tujuh sap tangga tersebut sebagai berikut :

1. Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)

2. Jroning suko kudu eling Ian waspodo (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)

3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita – cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)

4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)

5. Heneng – Hening – Henung (dalam keadaan diam kita akan mem¬peroleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita – cita luhur).

6. Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan Sholat lima waktu)

7. Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masya¬rakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita.

Catatan European Conference on E-Government (ECEG) 2015

1. Keynote Speaker Geoff Walsham (Emeritus Prof Judge Business School Univ of Cambridge, UK, Pakar Information System, Salah satu pionir Qualitative research) : E-Government belum tentu menjadikan ‘BETTER WORLD’, ada banyak complex factor yg mempengaruhi, teknologi hanyalah salah satu komponen saja.

2. Geoff Walsham berkata : NO DEVELOPING AND DEVELOPED COUNTRIES, BECAUSE ALL COUNTRIES ARE STILL DEVELOPING

3. Sebagai salah satu ilmuwan besar, Geoff Walsham sangatlah sederhana dilihat dari pakaiannya saat memberikan keynote speaker.Saya berkesempatan berdiskusi dengan beliau mengenai Actor Network Theory (ANT) yang saya gunakan untuk PhD Thesis saya, termasuk menunjukkan poster saya dan beliau sangat friendly, sopan dan approachable

4. Prof Sir Nigel Shadbolt (Univ of Southampton) berbicara tentang pentingnya Open Data Government seperti seluruh data publik di publish sehingga publik bisa mengaksesnya, seperti : data kesehatan, data bus stop, data kriminal, dll.

5. Saya sempat bertanya saat ngobrol ringan (tapi topik obrolannya berat) ke Prof. Donald F. Norris (Pakar local government Univ of Maryland, USA): Apakah E-Government benar-benar bisa meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan ? Beliau menjawab : NON SENSE, banyak implementasi e-government gagal

Saya bertanya lagi, apakah E-Participation bisa meningkatkan partisipasi masyarakat ?

Beliau menjawab : NO, karena masyarakat dan government tidak ingin ada partisipasi

Saya bertanya lagi: apakah itu juga terjadi di USA ?

Beliau menjawab : YES

Setelah itu, beliau memberikan kartu namanya ke saya

6. Dalam sesi registration/pre-conference ada acara BBQ, Sang Conference Chair (yang merupakan supervisor saya), membawa berbagai

perlengkapan seperti mangkuk, sendok, termasuk Juice, strawberry, dll lalu membuat sendiri minuman tradisional orang Inggris

semacam es buah (dibantu para mahasiswa PhD-nya, termasuk saya), lalu menuangkan sendiri es buah itu ke dalam gelas dan

memberikannya ke peserta satu persatu yang berasal dari berbagai negara. WOW

7. Conclusion ECEG 2015 : a) Setiap negara menghadapi tantangannya masing-masing dlm implementasi E-Government, b) Ada

kesamaan dan perbedaan tantangan yg dihadapi oleh banyak negara dlm implementasi e-goverment, c) E-Government sebagai

sebuah bidang keilmuan sudah mulai mature, d) Ada perluasan boundary of government role, e) Ada complex factor yang

mempengaruhi implementasi E-Government, f) Implementasi E-Government tidak sekedar technological factor

Portsmouth, 20 Juni 2015

Titik Temu Ekstrimitas

Kalo kita melihat fenomena hari ini, banyak sekali terjadi pertentangan antara sunni-syiah, ahlussunnah-wahabi, barat-timur, konservatif-liberal, agamis-kebatinan dan berbagai macam kutub ekstrim lainnya. Banyak fakta seperti kaum sunni menganggap kafir dan sesat kaum syiah, sedangkan kaum ahlussunnah mengganggap wahabi salah dan sebaliknya kaum wahabi menganggap kaum ahlussunnah terlalu banyak bid’ah dan kurafat, para ilmuwan barat (tidak semua) menganggap ilmu pengetahuan timur adalah mistis-tidak rasional dan para ilmuwan timur menuding barat terlalu mendewakan akal dan melupakan kedalaman spiritual dan hal-hal ghaib.

Pertanyaannya apakah ekstremitas itu harus selalu dipertentangkan ? apakah tidak mungkin disatukan ?

Sebenarnya yang diperlukan adalah membangun jembatan dialog untuk saling belajar satu sama lain, untuk bisa saling memahami.

Apakah tidak boleh kaum sunni mempelajari ajaran-ajaran syiah, dan juga sebaliknya apakah haram pengikut syiah mempelajari khazanah kitab-kitab para ulama sunni. Misal, di sunni ada amalan-amalan atau wirid atau dzikir, begitu juga syiah pun memiliki yang sama. Metode dan bacaanya saja yang berbeda. Pasti akan sangat menarik jika terjadi seperti ini. Mungkin ada hal-hal yang tidak bisa diterima, tetapi pasti ada hal-hal yang bisa diterima dan wajar jika ada hal-hal yang netral. Biasanya yang ditakutkan adalah pengikut sunni berubah menjadi pengikut syiah, atau sebaliknya. Pertanyaannya apakah tidak mungkin menguasai keduanya, khazanah keilmuan sunni sekaligus syiah. Kalau bisa menguasai keduanya, maka betapa hebatnya. Disitulah akan muncul kearifan-kearifan, keluasan pikiran dan cakrawala. Tidak lagi fanatisme sempit. Apakah boleh mempelajari ilmu dari Syiah yang dicap sesat. Bukankah hakikatnya semua ilmu adalah milik Allah, dan luasnya ilmu Allah adalah seluas samudera, sementara otak manusia hanya mampu menampung setetes dari air samudera ilmu Allah. Kalau yang masuk di kepalanya hanya tetes pertama, tiba-tiba ketika tetes air kedua masuk, lalu langsung dianggap sesat. Itu sama saja dengan mengingkari keluasan ilmu Allah SWT.

Barat dan Timur adalah fenomena menarik. Barat terkenal kuat penggunaan akal dan rasionalitasnya, dan timur terkenal kuat spiritualitasnya. Apakah rasionalitas dan spiritualitas bertentangan. Apakah di Barat tidak ada spiritualitas, mistik dan hal-hal ghaib ? ternyata ada juga dan banyak juga. Kalau anda ke berwisata ke kota Bath Spa Inggris, disitu ada peninggalan situs Romawi bernama Roman Bath. Disitu terdapat mata air hangat yang dianggap suci dan mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Bukankah ini sama dengan fenomena di makam-makam wali songo. Para peziarah biasanya meminum air dari sumur para wali yang dianggap membawa berkah. Di romania, dijual bebas batu-batu yang dianggap punya khasiat tertentu, apakah untuk pengobatan, kekuasaan, wibawa, dll. Ini kan sama dengan beberapa masyarakat di beberapa daerah di Indonesia yang masih percaya terhadap khasiat dari batu jenis-jenis tertentu. Bukankah sebagai manusia memang diperlukan rasionalitas dan spiritualitas yang kuat. Karena memang keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Jadi tidak haram hukumnya mempelajari pemikiran-pemikiran barat, sekaligus tidak haram hukumnya mempelajari khazanah spiritual dan kearifan timur. Barat tidak punya hal itu, tapi timur juga kurang dalam hal metodologis-rasional dalam kajian-kajiannya keilmuannya.

Apakah salah jika orang berpikiran liberal ? karena menyalahi pakem, ketentuan agama yang sudah ada. Bukankah memang kita terus perlu membuka pikiran secara bebas untuk mendapatkan perkembangan ilmu-ilmu baru. Bahwa ilmu akan kadaluarsa, diperlukan pendekatan-pendekatan baru, ijtihad baru, ide-ide baru, visi baru. Itu wajar dan harus. Termasuk dalam hal agama. Pemahaman agama memang harus terus diperbaharui, karena dunia berubah, situasi dan kondisi berubah, masyarakat berubah, semuanya berubah. Bagaimana mungkin sebuah kitab yang ditulis 200 tahun lalu, dianggap benar semuanya selamanya. Ajarannya dipertahankan dan dibela mati-matian. Sang penulis kitab juga manusia yang hidup pada jamannya, yang mungkin kondisinya sangat jauh berbeda. Sehingga bisa jadi isinya tidak relevan lagi, mungkin sebagian atau semuanya.  Apakah berpandangan konservatif juga salah ? Tidak juga. Karena pasti ada prinsip-prinsip dasar dan tradisi yang sudah baik yang perlu terus dilestarikan, dijaga dan disebarluaskan walaupun itu berasal dari masa lampu yg tradisional. Sehingga, sikap konservatif juga perlu dan berpikiran liberal juga diperlukan. Tinggal menempatkannya saja.

Jadi sikap ektrimisme dalam hal apapun perlu dibuang jauh-jauh. Terlalu ekstrim kanan tidak baik, ekstrim kiri juga kurang baik.

Portsmouth, 5 Maret 2015

Relativitas ilmu pengetahuan

Ada yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan yang tertulis di buku-buku adalah kebenaran mutlak, terutama buku teks yang berbahasa Inggris pastilah benar. Maka ketika mengimplementasikan ilmu itu, lalu hasilnya berbeda dengan apa yang tertulis di buku tersebut, maka yang salah adalah yang mengimplementasikannya.

Padahal sebenarnya, sebuah ilmu/teori/konsep/pengetahuan lahir dari sebuah proses yang dinamakan metode untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Ada banyak cara/metodologi/metode untuk mendapatkan ilmu/pengetahuan/konsep/teori, apakah melalui eksperimen, case study , action research, dll. Apakah itu menggunakan eksperimen, case study, atau yang lainnya, pastilah dilakukan analisa terhadap data. Proses analisa dan interpretasi inilah yang bersifat relatif berdasarkan kemampuan dari sang peneliti, berdasarkan sejuah mana data yang digunakan, bagaimana asumsi yang mendasarinya, bagaimana konteks ilmu pengetahuan dan research methodologynya. Akan ada kebenaran relatif lanjutan yang mengoreksi kebenaran relatif sebelumnya.

Ketika metode yang digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itu berbeda, maka bisa jadi ilmu pengetahuan yang didapatkan pun akan berbeda pula. Misal, penelitian eGov yang menggunakan case study dan interview dibandngkan dengan penelitian topik yang sama eGov tetapi menggunakan metode yang berbeda, maka ilmu pengetahuan yang didapatkan bisa sama atau bisa berbeda. Kalaupun berbeda, maka tidak bisa dikatakan ilmu pengetahuan itu salah. Perbedaan research philosophy pun akan menghasilkan konsep/teori/ilmu pengetahuan yang berbeda pula.

Ada ilmu pengetahuan/model yang lahir dari konteks tertentu, berdasarkan perumus pengetahuan tertentu, yang itu jika diterapkan dalam konteks yang berbeda menjadikan hasil yang berbeda pula. Hal ini terkait dengan ilmu pengetahuan/konsep/teori yang terkait dengan sosial atau implementasi dalam konteks sosial. Salah satu contoh adalah konsep tentang eGovernment yang awalnya banyak berkembang di Eropa, lalu banyak ditulis dalam jurnal, paper, buku dan literatur-literatur lainnya. Ketika referensi itu di tulis maka jadilah ilmu pengetahuan, dan ketika terpublikasi jadilah ilmu pengetahuan itu tersebar kemana-mana. Ketika referensi itu sampai di Indonesia contohnya, maka ada yang menganggap bahwa model itu adalah kebenaran mutlak. Kalau implementasi eGov di Indonesia tidak sesuai referensi itu, maka dianggap salah. Padahal sebenarnya, model itu lahir berdasarkan penelitian eGov dimana sang peneliti melakukan penelitian, misal di Eropa atau salah satu negara.

Jadi, konsep/teori/ilmu pengetahuan yang tertulis dalam literatur mestilah ditelaah lebih teliti mengenai asumsi-asumsi yang mendasarinya. Jika asumsi itu diubah, maka berubahlah ilmu pengetahuan itu. Itulah relativitas ilmu pengetahuan.

Portsmouth, 17/10/2014 00:11

NU, Islam Nusantara dan Perdamaian Dunia

Sebagaimana kita ketahui bahwa akhir-akhir ini terjadi serangkaian tindakan terorisme dan kekerasan yang mengatasnamakan Islam, seperti yang dilakukan oleh ISIS, Boko Haram dan lain-lain. 2 Tahun lalu ketika terjadi pemenggalan kepala tentara Inggris oleh oknum yang selanjutnya diikuti dengan meneriakkan Allahu Akbar. Yang terakhir terjadi adalah penembakan di sebuah kafe di Australia dan penembakan yang terjadi di sekolah di Pakistan oleh Taliban.
Semua ini tentu mempengaruhi persepsi publik terhadap Muslim dan Islam itu sendiri. Bagi orang awam pasti langsung antipati terhadap Islam dan muslim. Apalagi bagi masyarakat muslim yang tinggal di negara-negara seperti Amerika, Inggris dan lain-lain yang notabene pemeluk Islam-nya bukan mayoritas.

NU yang merupakan organisasi Islam terbesar di dunia dengan jaringan PCI di berbagai negara di Eropa, Amerika dan Asia tentu bisa berperan sangat strategis dalam menjelaskan kepada publik dan dunia internasional bahwa yang dilakukan oleh ISIS, Taliban, Boko Haram dan kelompok-kelompok garis keras lainnya bukanlah representasi ajaran Islam. Apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompk tersebut dengan serangkaian tindakan kekerasan dan terorisme justru berkebalikan dengan makna dasar kata Islam sendiri, yang secara etimologis berarti Selamat atau Damai.

Termasuk juga NU perlu berperan meluruskan pengertian JIhad yang salah. Di banyak media di UK, banyak sekali dipublikasikan berita-berita tentang terorisme dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Jihadist. Orang awam menjadi takut terhadap kata-kata jihad. Padahal makna sesungguhnya jihad adalah bersungguh-sungguh atau berusaha dengan keras. Jihad tidak selalu identik dengan berperang. Jihad bisa dilakukan dengan bekerja secara sungguh-sungguh, belajar secara sungguh-sungguh, berkarya dengan sungguh-sungguh.

Indonesia adalah negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia. Saya kalau bertemu dengan muslim di Inggris, ketika ditanya dari negara mana pasti saya jawab bahwa Indonesia yang merupakan the biggest moslem country in the world. Disini sebenarnya peran NU untuk memperkenalkan Islam Indonesia atau Nusantara yang ramah, damai dan toleran. Islam Nusantara bisa menjadi rujukan yang sangat berharga untuk menunjukkan bahwa agama Islam memang rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam. Tidak sekedar rahmat bagi pemeluk Islam saja. Pengucapan selamat natal dari banyak pemimpin yang notabene muslim, tokoh muslim, dan masyarakat banyak tentu sangat luar biasa. Penjagaan banser di gereja-gereja saat perayaan Natal tentu sangat membanggakan. Termasuk kerukunan yang sangat baik dimana di dalam satu daerah terdapat Masjid dan Gereja yang bersebelahan dan masyarakatnya pun aman-aman saja.
Kalaupun ada kelompok-kelompok Islam yang melakukan kekerasan, sesungguhnya itu hanyalah kelompok minoritas saja. Tetapi mayoritas muslim di Indonesia sangat mencintai perdamaian.

Semua ini menunjukkan bahwa Islam Nusantara patut menjadi contoh terhadap dunia tentang potret Islam yang sebenarnya.

Portsmouth, 25 Desember 2014
Muhammad Yusuf – Warga NU di Inggris

Democracy 2.0 di Indonesia

Tags

Democracy 2.0 berarti Demokrasi yang didukung oleh Web 2.0 alias aplikasi-aplikasi social media semacam twitter, Facebook, dan lain-lain.

Democracy 2.0 masih tergolong diskursus baru dalam kajian e-government, e-democracy dan e-participation di dunia.

Sebenarnya kalau ada yang menulis scr lbh komprehensif dan mengirimkan ke conference atau jurnal, saya yakin akan menjadi paper akademik yang menarik dlm diskursus interdisipliner politik, computing, komunikasi, sosiologi dan budaya serta banyak lessons learned kepada negara-negara lain.

Pilpres 2014 kemaren mencatatkan sejarah bahwa Indonesia sebaga negara demokrasi terbesar ke-3 mampu menggunakan social media dengan sangat baik dan efektif, tidak hanya dlm proses kampanye, melainkan proses-proses penunjang demokrasi lainnya seperti kawal penghitungan pemilu dan proses Pasca pilpres dlm rangka menjaga perdamaian dan persatuan Indonesia.

Ada beberapa catatan saya mengenai democracy 2.0 di Indonesia :
1. Perang informasi di social media sbg bagian dari kampanye capres/cawapres cukup berpengaruh dalam mendongkrak suara kandidat
2. Munculnya berita hoax yang gila-gilaan membutuhkan aturan legal formal di social media untuk mengatur arus informasi sbg bentuk tanggung jawab thd Masyarakat
3. Disamping aturan legal formal, dibutuhkan pula kode etik kampanya di social media yang menjaga hak-hak personal, terutama capres dan cawapres. Karena sangat banyak informasi yang berseliweran di social media yang mencederai ruang private sebagai bagian dari taktik kampanye dan ini perlu dievaluasi scr kode etik
4. Munculnya media-media semacam kawal pemilu, exit poll, jaga suara dan sejenisnya beserta implementasi konsep crowdsourcing adalah terobosan luar biasa dalam democracy 2.0 tidak hanya di Indonesia tapi juga demokrasi secara umum. Kombinasi karakter khas Indonesia dlm bergotong royong dipadukan dengan crowd sourcing dan democracy 2.0 mampu memberi kontribusi signifikan bagi perkembangan demokrasi Indonesia
5. Pelaku democracy 2.0 di Indonesia tidak hanya berasal dari tim resmi kampanye, rela wan melainkan juga pengguna social media sesuai preferensinya masing-masing. Pengguna social media tdk hanya obyek pasif tetapi bisa menjadi pelaku aktif dgn menyebarluaskan informasi sesuai preferensinya
6. Pengaruh seorang Tokoh di kampanye offline tidak selalu linear dg pengaruhnya di social media.
7. Arus informasi berputar sangat cepat menembus ruang dan waktu dan pergerakan informasi cenderung sangat sulit dikontrol.
8. Perlu dikaji apakah strategi kampanye di dunia nyata berdampak sama dengan strategi kampanye di social media.
9. Social media sangat efektif utk menunjang demokrasi di Indonesia karena kultur Masyarakat Indonesia yang cenderung gemar membangun hubungan kemasyarakatan. Dan social media sangat efektif utk menjembatani Masyarakat yang terpisah oleh banyaknya kepulauan di Indonesia.
10. Social media bisa menjadi media untuk mengawal agenda dan program presiden terpilih sbg kelanjutan pengembangan democracy 2.0 di Indonesia
11. Bangsa Indonesia bisa berbangga thd pencapaian demokrasi kita, meski tetap perlu mengevaluasi demokrasi yang cocok dengan jati diri bangsa Indonesia, karena setiap konsep tidak selalu cocok ditetapkan di lingkungan dengan latar belakang yang berbeda. Demokrasi ala amerika belum tentu cocok ditetapkan di Indonesia karena social context berbeda, filosofi dan tata nilai masyarakat yg berbeda dan kultur yang berbeda.

Portsmouth , 12 Agustus 2014

Merenungkan kembali Demokrasi Indonesia

Tags

,

Setiap teori, konsep, ilmu yang terkait dengan sosial termasuk sistem sosial dan politik mestilah lahir dari dialektika di sebuah konteks tertentu. Konteks itu bisa berarti lingkungan tertentu, masyarakat tertentu, waktu tertentu, negara tertentu atau peradaban tertentu. Dan tidak ada kebenaran mutlak atas teori, konsep, ilmu pengetahuan dan sistem sosial politik. Yang ada adalah kebenaran relatif, yang terikat ruang dan waktu. Akan ada kebenaran relatif lanjutan dari kebenaran sebelum itu. Kalaupun itu dianggap kebenaran dan kebaikan, karena memang disepakati oleh suatu komunitas masyarakat tertentu pada jangka waktu tertentu pula. Oleh karena itu, sistem politik yang lahir dari lingkungan dan konteks yang berbeda belum tentu cocok dan sukses ketika diterapkan pada lingungan dan konteks yang lain. Dan juga sebuah sistem politik pastilah embedded (terdapat didalamnya) kumpulan ide yang mewakili sistem nilai, filosofi, cara pandang dan budaya dari perumusnya.

Sehingga sistem politik di suatu negara seharusnya bersandar pada keunikan sistem sosial dari masyarakat itu sendiri, karena setiap komunitas, masyarakat, bangsa, konteks, atau negara mempunyai sistem nilai, filosofi, budaya dan karakteristik yang berbeda, unik dan tidak dapat disamakan dengan komunitas, masyarakat, bangsa ataupun negara lain.

Termasuk Demokrasi, Demokrasi yang diterapkan di Amerika contohnya merupakan sistem politik yang dibangun atas dasar filosofi, sistem nilai dan budaya para perumusnya di Amerika. Padahal, filosofi, sistem nilai dan budaya di negara lain, khususnya di Indonesia sangat berbeda dengan di Amerika. Oleh karenanya, Demokrasi ala Amerika tidak bisa diadopsi mentah-mentah di Indonesia.

Sehingga, Demokrasi yang seperti apa cocok digunakan di Indonesia seharusnya tidak mengadopsi secara mentah-mentah dari negara lain, dan peradaban lain. Sistem politik, apakah itu monarki, demokrasi atau apapun bentuk dan namanya, haruslah mengacu pada sejarah, karakteristik, budaya, sistem nilai dan filosofi kita sendiri. Kita selamanya akan tertinggal dan selalu menjadi follower kalau terus mengikuti ukuran dan parameter dari negara lain atau peradaban lain. Karena memang ukuran dan parameter itu dibuat dan dirumuskan dari konteks negara lain, bukan dari Indonesia. Ukuran keberhasilan dari sistem politik yang dibuat haruslah bersandar pada jati diri kita sendiri.

Memang Indonesia dianggap sebagai young democracy country alias negara yang masih muda dalam berdemokrasi, karena parameter yang digunakan adalah sejak jatuhnya Presiden Soeharto dan seakan-akan Indonesia juga bangsa yang masih muda, karena baru berdiri sejak 1945 tetapi bangsa Indonesia sejatinya jauh lebih tua dari itu. Bangsa yang kemudian dinamakan Indonesia ini sesungguhnya telah ada dan kalau ditelisik lebih dalam punya sejarah yang hebat dan berperadaban sangat tinggi, mungkin lebih maju dari Eropa dan Amerika pada jamannya.

Ada kejayaan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya yang merupakan imperium pada jamannya. Sejarah menyebutkan bahwa Sriwijaya merupakan pusat pembelajaran agama Budha di masa lalu, dimana banyak orang dari Cina, India dan lain-lain datang ke Srwijaya untuk berguru dan belajar tentang agama Budha.

Seiring dengan penemuan situs Gunung Padang yang besarnya 10x lipat Candi Borobudur dan jauh lebih tua dari Piramida di Mesir, serta yang saya sangat takjub bahwa situs itu sesungguhnya bukan ‘tertimbun’ tapi ‘ditimbun’ dengan sangat baik dan canggih yang itu menunjukkan ada masa dimana peradaban saat itu sedemikian tinggi karena mampu ‘menyembunyikan’ situs sebesar itu dengan teknologi semen yang begitu maju untuk menimbun dan bertahan ratusan tahun.

Jauh sebelum orang bicara tentang Development, Prabu Airlangga sudah mengimplementasikan hal itu.

Pada abad ke-3 tahun 270-an Masehi, Kapal Dagang dari selatan (Jawa) ukurannya 3x kapal Cina saat itu. Bahkan masyarakat ‘Indonesia’ pada tahun jaman dulu 648 M sudah mempunyai Undang-Undang Hukum Pidana dan Perdata namanya Kalingga Dharma Sastra yang disusun oleh Raja Kalingga yang bernama Kartikea Singa. Itulah KUHP pertama yang terdiri 119 pasal. Dan tahun 648 M itu sama dengan mas Khalifah Usman, jadi masyarakat kita sudah punya KUHP . Soal Demokrasi, Majapahit sudah mengimplementasikannya dimana saat itu ada konsep ‘Pepe’ yaitu Raja punya kewenangan untuk menerima laporan langsung dari rakyat. Rakyat jika tidak puas terhadap kebijakan Perdana Menteri akan melakukan ‘Pepe’ atau ‘berjemur’ dan kemudian akan diminta menghadap Raja untuk menyampaikan keluhannya. Jika, semakin banyak rakyat yang protes hal itu, maka Raja akan mengganti pejabat terkait. (Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo).

Jadi, kita sebagai bangsa Indonesia harus percaya diri untuk merumuskan sistem politik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat kita sendiri. Tidak ada masalah jika berbeda dan tidak sesuai dengan negara lain, apalagi Amerika.

Kajian soal Demokrasi yang cocok di Indonesia tidak bisa hanya mengacu pada buku teks-teks barat, melainkan juga kitab-kitab kuno di masa lalu yang kalau mau digali sesungguhnya banyak sekali terkandung ilmu pengetahuan dan kearifan yang lahir orisinal dari bumi Nusantara sendiri.

Portsmouth, 30/09/2014

Penulis adalah Peneliti E-Participation di University of Portsmouth, UK

NU, Islam Nusantara dan Perdamaian Dunia

Tags

, ,

Sebagaimana kita ketahui bahwa akhir-akhir ini terjadi serangkaian tindakan terorisme dan kekerasan yang mengatasnamakan Islam, seperti yang dilakukan oleh ISIS, Boko Haram dan lain-lain. 2 Tahun lalu ketika terjadi pemenggalan kepala tentara Inggris oleh oknum yang selanjutnya diikuti dengan meneriakkan Allahu Akbar. Yang terakhir terjadi adalah penembakan di sebuah kafe di Australia dan penembakan yang terjadi di sekolah di Pakistan oleh Taliban.
Semua ini tentu mempengaruhi persepsi publik terhadap Muslim dan Islam itu sendiri. Bagi orang awam pasti langsung antipati terhadap Islam dan muslim. Apalagi bagi masyarakat muslim yang tinggal di negara-negara seperti Amerika, Inggris dan lain-lain yang notabene pemeluk Islam-nya bukan mayoritas.

NU yang merupakan organisasi Islam terbesar di dunia dengan jaringan PCI di berbagai negara di Eropa, Amerika dan Asia tentu bisa berperan sangat strategis dalam menjelaskan kepada publik dan dunia internasional bahwa yang dilakukan oleh ISIS, Taliban, Boko Haram dan kelompok-kelompok garis keras lainnya bukanlah representasi ajaran Islam. Apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompk tersebut dengan serangkaian tindakan kekerasan dan terorisme justru berkebalikan dengan makna dasar kata Islam sendiri, yang secara etimologis berarti Selamat atau Damai.

Termasuk juga NU perlu berperan meluruskan pengertian JIhad yang salah. Di banyak media di UK, banyak sekali dipublikasikan berita-berita tentang terorisme dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Jihadist. Orang awam menjadi takut terhadap kata-kata jihad. Padahal makna sesungguhnya jihad adalah bersungguh-sungguh atau berusaha dengan keras. Jihad tidak selalu identik dengan berperang. Jihad bisa dilakukan dengan bekerja secara sungguh-sungguh, belajar secara sungguh-sungguh, berkarya dengan sungguh-sungguh.

Indonesia adalah negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia. Saya kalau bertemu dengan muslim di Inggris, ketika ditanya dari negara mana pasti saya jawab bahwa Indonesia yang merupakan the biggest moslem country in the world. Disini sebenarnya peran NU untuk memperkenalkan Islam Indonesia atau Nusantara yang ramah, damai dan toleran. Islam Nusantara bisa menjadi rujukan yang sangat berharga untuk menunjukkan bahwa agama Islam memang rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam. Tidak sekedar rahmat bagi pemeluk Islam saja. Pengucapan selamat natal dari banyak pemimpin yang notabene muslim, tokoh muslim, dan masyarakat banyak tentu sangat luar biasa. Penjagaan banser di gereja-gereja saat perayaan Natal tentu sangat membanggakan. Termasuk kerukunan yang sangat baik dimana di dalam satu daerah terdapat Masjid dan Gereja yang bersebelahan dan masyarakatnya pun aman-aman saja.
Kalaupun ada kelompok-kelompok Islam yang melakukan kekerasan, sesungguhnya itu hanyalah kelompok minoritas saja. Tetapi mayoritas muslim di Indonesia sangat mencintai perdamaian.

Semua ini menunjukkan bahwa Islam Nusantara patut menjadi contoh terhadap dunia tentang potret Islam yang sebenarnya.

Portsmouth, 25 Desember 2014
Muhammad Yusuf – Warga NU di Inggris